Tuesday, January 26, 2010

Posisi Hadits Dha'if Dalam Pandangan Ulama


Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.

Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan yang anti hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia.
Sebagaimana dimaklumi, para ulama telah bersepakat tentang posisi hadits dha'if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah. Dalam hal ini, al-Imam al-Nawawi berkata:
"Menurut ahli hadits dan lainnya, boleh memperlonggar (tasahul) dalam menyampaikan sanad-sanad yang lemah (dha'if) dan meriwayatkan hadits dha'if yang tidak maudhu' serta mengamalkannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum." (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Pernyataan al-Imam al-Nawawi di atas memberikan kesimpulan sebagai berikut tentang hadits dha'if. Pertama, boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dha'if dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, akidah dan hukum-hukum halal dan haram. Kedua, pendapat ini adalah pendapat seluruh ahli hadits dan selain mereka.

Menurut al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi wilayah bolehnya mengamalkan hadits-hadits dha'if tersebut, mencakup terhadap hal-hal yang berkaitan dengan fadha'il al-a'mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang terdahulu, mau'izhah hasanah atau targhib dan tarhib dan yang sejenisnya. Pernyataan al-Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi di atas berkaitan dengan bolehnya mengamalkan hadits dha'if dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan semacamnya sebenarnya diriwayatkan dari ulama-ulama salaf antara lain al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi dan semacamnya. Mereka mengucapkan sebuah yang sangat populer, "idza rawayna fil halam wal haram syaddadna waidza rawayna fil fadhail wa nahwiha tasahalna (apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai halal dan haram, kami menyeleksinya dengan ketat, tetapi apabila kami meriwayatkan hadits-hadits mengenai fadha'il dan semacamnya, kami memperlonggar)". (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Bahkan menurut Syaikh Abdullah Mahfuzh al-Haddad dalam kitabnya al-Sunnah wa al-Bid'ah (hal. 110), tidak ada seorang pun ulama yang melarang mengamalkan hadits dha'if, dalam wilayah fadha'il al-a'mal dan sejenisnya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, kita temukan kitab-kitab hadits ulama terdahulu seperti karya-karya al-Bukhari (selain Shahih-nya), al-Tirmidzi, al-Nasa'i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Hal ini juga diikuti oleh ulama-ulama berikutnya seperti al-Thabarani, Abu Nu'aim, al-Khathib al-Baghdadi, al-Baihaqi dan lain-lain. Sehingga kemudian tidaklah aneh apabila kitab-kitab tashawuf dan adzkar yang memang masuk dalam wilayah fadha'il al-a'mal seperti Ihya' 'Ulum al-Din, karya al-Ghazali, al-Adzkar karya al-Nawawi dan semacamnya banyak mengandung hadits-hadits dha'if. Bahkan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama panutan Wahhabi seperti Ibn Taimiyah, Ibn al-Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi juga penuh dengan hadits-hadits dha'if dan terkadang pula hadits-hadits maudhu'.

Pendeknya hadits dha'if memang boleh diamalkan berdasarkan pendapat seluruh ulama salaf dan khalaf dalam konteks fadha'il al-a'mal dan sejenisnya. Sedangkan orang pertama yang menolak terhadap hadits dha'if dalam wilayah apapun termasuk dalam konteks fadha'il al-a'mal adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, ulama Wahhabi dari Yordania. Al-Albani bukan hanya menolak hadits dha'if, bahkan juga beranggapan bahwa mengamalkan hadits dha'if dalam fadha'il adalah bid'ah dan tidak boleh dilakukan. Lebih dari itu, al-Albani juga memposisikan hadits dha'if sejajar dengan hadits maudhu' seperti dapat dibaca dari judul bukunya, Silsilat al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah wa Astaruha al-Sayyi' lil-Ummah (serial hadits-hadits dha'if dan maudhu' serta dampat negatifnya bagi umat).

Hadits dha'if yang sebelumnya dianjurkan diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf, kini al-Albani menganggapnya bid'ah dan berdampat negatif bagi umat. Secara tidak langsung, al-Albani berarti telah menghujat seluruh ahli hadits sejak generasi salaf yang meriwayatkan hadits-hadits dha'if dalam kitab-kitab mereka sebagai memberi contoh yang negatif bagi umat. Wallahu a'lam.



Jangan lupa baca yang ini juga



3 comments:

Anonymous July 16, 2011 at 12:18 AM  

BOLEHKAH MENGAMALKAN HADITS DHAIF?

Ibnul ‘Arobi al-Maliki berkata : Mereka (Ulama Mazhab Malikiyah) berkata : berapa wilayah telah dilalui beliau dan jenazah dihadiri secara langsung oleh beliau! Kami katakan: Sesungguhnya Rabb kita adalah Maha Mampu atasnya dan sesungguhnya Nabi kitalah yang layak dengannya. Akan tetapi janganlah kalian berpendapat melainkan hanya dengan yang kalian riwayatkan, janganlah kalian membuat-buat hadits yang berasal dari diri kalian sendiri, janganlah kalian menyampaikan melainkan yang tsabat (tetap) dan TINGGALKAN YANG LEMAH, karena ia merupakan jalan kerusakan kepada sesuatu yang tidak memiliki kerusakan.” (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar (3/189) dan pula Nailul Authar karya Asy-Syaukani 4/54)

Imam Muslim berkata dalam Muqaddimah Shahih Muslim: ”Ketahuilah bahwa yang wajib dilakukan oleh semua orang yang mengetahui cara membedakan antara riwayat yang shohih dengan yang lemah, serta membedakan antara perowi yang tsiqoh dengan yang dusta agar tidak meriwayatkan kecuali yang dia ketahui KESHOHIHAN sanadnya, dan hendaklah dia MENGHINDARI jangan sampai meriwayatkan dari orang-orang yang tertuduh berdusta, para penentang dan ahli bid’ah.” Lalu Imam Muslim menyebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lihat pada Kitab beliau karena pembahasan ini sangat penting. (Shohih Muslim 1/6 dst)

Orang yang berpendapat bolehnya mengamalkan hadits dhoif beralasan karena ada KEMUNGKINAN bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah.
Hadits lemah/dhoif itu hanya berupa kemungkinan/prasangka saja, mungkin dari Rasulullah, mungkin juga bukan dari beliau. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya melarang sesuatu yang belum benar-benar jelas kepastiannya/kebenarannya.

Allah berfirman: ”Sesungguhnya persangkaan (Dhon) itu tidak berfaedah sedikitpun pada kebenaran.” (QS. An-Najm : 28)
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Jauhilah berprasangka, karena prasangka adalah ucapan yang paling dusta.” (HR. Bukhari 6064 dan Muslim 2563)

Imam Muslim berhujjah dengan hadits berikut ini: Rasulullah bersabda: ”Barangsiapa yang menceritakan dariku sebuah hadits yang dia SANGKA bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari pendusta.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Kitab Shohih beliau).

Ibnu Hibban berkata mengomentari hadits riwayat Muslim di atas dalam Kitab Adh-Dhuafa’ 1/7-8 : ”Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ahli hadits kalau meriwayatkan sebuah hadits yang tidak shohih dari Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam padahal dia mengetahuinya maka dia termasuk salah satu pendusta, padahal dhohirnya hadits tersebut menjelaskan perkara yang lebih besar lagi, di mana Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Barangsiapa menceritakan dariku sebuah hadits yang dia SANGKA bahwa itu dusta...” dan Rasulullah tidak bersabda : ”Yang dia YAKINI bahwa itu dusta” maka semua orang yang masih ragu-ragu pada apa yang dia riwayatkan apakah hadits itu shohih ataukah tidak, maka dia termasuk dalam ancaman hadits tersebut.”

Ucapan Ibnu Hibban ini dinukil oleh Imam Ibnu Abdil Hadi dalam Ash-Shorim Al-Munki hal. 165-166 dan beliau menyepakatinya.

Dari Hafsh bin Ashim ra berkata: Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta, kalau dia menceritakan semua yang dia dengar.” (HR. Muslim 5 dan Abu Dawud 4992)

Ibnu Hibban berkata lagi dalam Kitab Adh-Dhuafa’ 1/9: ”Hadits ini merupakan ancaman bagi seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar sampai dia mengetahui dengan pasti keshohihannya.”

Nabi bersabda: ”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jaya November 8, 2011 at 9:23 PM  

Anonymous, semua dalil yang anda sampaikan itu maksudnya untuk hukum fardhu, hukum jinayat dll, para ulama telah bersepakat tentang posisi hadits dha'if yang boleh diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal (amalan-amalan sunat), targhib (motivasi melakukan kebaikan) dan tarhib (peringatan meninggalkan larangan), manaqib dan sejarah, anda pelajari dululah perbedaan antara hukum fardhu dan fadhail Al-a'mal bari ngomong

jaelzacharia March 4, 2022 at 4:20 PM  

Top 25 Casinos Near Atlanta, GA - DrmCD
Top 25 Casinos Near Atlanta, GA · 1. DraftKings – 10 · 2. William 전라남도 출장샵 Hill Casino 전라북도 출장마사지 – 9 양산 출장샵 · 3. Tropicana Casino – 화성 출장안마 8 · 4. Hollywood Casino at 경산 출장샵 Kansas Speedway – 7

Post a Comment

Links Referensi Indonesia

Links Referensi Timur Tengah

Pengikut

http://mp3upload.ca/

  © Blogger template 'External' by Ourblogtemplates.com 2009 | Redesign by Jasa Pembuatan Blog Mung Bisnis

Back to TOP